Bali.... Bali... Pulau Dewata yang tak habis-habis memancarkan pesonanya sampai ke mancanegara. Banyak orang yang bahkan lebih tahu Bali daripada Indonesia. As if Bali is not part of Indonesia.
Alam Bali memang terbilang komplit. Laut yang mengelilingi menjadikan garis pantai panjang di Bali. Pantai yang bervariasi dari berpasir putih, berpasir lembut empuk, tebing jurang dengan ombak garang, wisata water sport yang memacu adrenalin, snorkeling dan diving.
Minggu lalu, tepatnya 6-8 April 2018, 14 orang ibu2 dengan 4 anak gadis berpetualang di Bali. Kali ini tujuan kami bukan bermain di pantai (what?)... melainkan.... sawah dan island hopping di Nusa Penida.
Berikut perjalanan kami..
Pagi bertolak jam 02.00 subuh dari Kota Wisata (kumpul 01.30), naik bis ke Soekarno Hatta International Airport terminal 1C. Check in di counter Citilink dan menanti Flight 04.45 (yang sedikit tertunda termasuk adegan sudah naik ke bis trus disuruh turun lagi menunggu di terminal)... PHP tingkat dewa benar-benar deh...
Sampai di Bali, karena kami terbang tanpa bagasi, langsung naik ELF melipir mengambil nasi kotak untuk brunch sebelum mengarah menuju ke Desa Penglipuran di Bali. Desa Penglipuran adalah desa wisata yang kini sedang naik daun (istilahnya kekinian), ditata dengan apik dan rapi sehingga menyenangkan pengunjung yang datang. Mereka dilarang berjualan di jalanan umum, sehingga semua orang mendisplay dagangannya di pekarangan rumah mereka, di dalam gerbang gapura batu. Makanan, lukisan, pakaian, dan kerajinan tangan adalah dagangan umum di desa tersebut.
Saat kami melihat barang dagangan, mau tidak mau kami masuk ke pekarangan rumah penduduk, yang membuat kami merasa bertamu ke keluarga mereka, duduk di teras rumah mereka, leluasa memakai wastafel dan toilet mereka. Sungguh pengalaman dan konsep yang unik. Kami pun akhirnya menyerbu durian di pekarangan salah satu penduduk, setelah puas berfoto-foto di jalanan utama desa Penglipuran.
Kami pun melanjutkan perjalanan dari Desa Penglipuran, ke Tegalalang untuk melihat sawah terasering.
Sesampainya di lokasi sawah terasering, yaitu Cekingan Rice Terrace, setelah membayar tiket masuk (kalau nggak salah Rp. 15.000/orang), ada spot foto lengkap dengan ayunan dan tulisan "LOVE BALI" yang bisa dipakai untuk berpose dengan membayar Rp. 5.000 / orang. Jangan bayangkan kalau semacam ayunan di Maribaya, Lembang, yang dipasang harness ya. Seperti yang gue ungkapkan... bayar 5000 kok minta selamet. Hahaha... Bahkan gadis penunggu ayunan bercerita (setelah gue tanya apakah ada yang jatuh), bahwa dia juga pernah jatuh. Sering ada yang jatuh. Pantas salah seorang teman kami, menjerit-jerit ngeri campur seru tiap kali ada teman lain yang duduk perlahan di atas ayunan tersebut.
Pengunjung di sawah terasering sebagian besar adalah turis mancanegara. Either bule atau caucasian, atau orang-orang berwajah oriental (yang mukanya udah nyaru banget dengan kita), andai bukan karena bahasanya. Cuma kami sepertinya orang Indonesia yang main di sawah terasering. Secara.... di Indonesia nyaris di setiap lokasi ada sawah bo!!
Anyway, karena hari itu dresscode kami adalah putih/bitu, kami terlihat kontras sekaligus berpadu dengan padi dan pohon di sekitar. Mulailah foto-foto gila dari pematang-pematang sawah yang berakhir naik turun keterjalan pematang bersama-sama bule-bule ganteng setengah telanjang yang setia mengulurkan tangan ke segerombolan ibu-ibu ini.
Sesudah puas berfoto di pematang, kita naik ke warung di area samping jalan dan minum ala kadarnya (Ngomong-ngomong, Gelato nya lumayan enak dan waffle cone nya mereka bikin sendiri, sehingga masih renyah dan wangi). Makanan pun ada, walaupun rasa tidak dijamin.
Lanjut kita menuju ke Ubud dan makan di Naughty Nuri's Ubud yang terletak di tepi jalan. Untuk pork ribs ala Tony Roma's, harganya sangat miring walaupun porsinya sedang. Side dishnya pun dibanderol terpisah, sehingga kami bisa pesen ribs tok kalau mau diet keto (yang kini populer).
Setelah kenyang makan di jam aneh (kami tiba di Nuri sekitar 15.30), kamipun melanjutkan perjalanan ke pusat kota Ubud untuk melihat Puri Saraswati yang terkenal dengan kolam teratainya. Saat kita sampai di sana, teratainya belom ada satupun yang berbunga (yasalammm), tetapi bridge ditengah 2 kolam teratai, dengan deretan hiasan patung hitam dan payung putih dan theatre di depan pintu Pura Saraswati menjadi pemandangan unik tersendiri.
Kembali kami berfoto-foto heboh di kawasan Puri Saraswati. Oiya, di depan Puri Saraswati ada toko Starbucks besar yang logonya pun diukir kayu. unik buat foto spot. Di pelataran Puri Saraswati ada cafe tempat bule-bule menghabiskan waktu duduk-duduk dan minum di kelembaban nisbi Bali yang nyaris absolut. Juga dijual souvenir-souvenir lucu hasil kerajinan tangan.
Setelah itu kami melanjutkan berjalan kaki menuju Ubud Art Market, dimana banyak dijual pakaian dan kerajinan. Harga yang ditawarkan adalah standar, tetapi kalo bisa menawar, kita bisa mendapatkan celana bali dengan harga Rp. 50.000,- (jangan ditiru ya, kita harus dukung UMKM ya), dan tas rotan bundar seperti di Zara dengan harga 30% harga Zara.
Cape jalan, lihat-lihat dan menawar, kami pun kembali melanjutkan perjalanan ke Villa Umah Nyepi, yang letaknya terpencil dan tag lokasi di Google Map ternyata masih terpaut beberapa ratus meter ke Timur. Dengan hari yang beranjak gelap, ELF kami pun beberapa kali berputar badan tanpa hasil, sampai akhirnya pimpinan perjalanan memutuskan untuk menelpon penjaga villa untuk dipandu.
Kami pun segera unpack dan bebenah mengingat keesokan harinya kita harus kumpul di meja makan pukul 05.00 untuk mengejar boat ke Nusa Penida.
PS: Foto2 bisa dilihat di FB Sienny Sentosa ya...
--------------------- Bersambung ke Day 2
No comments:
Post a Comment